Penurunan muka tanah di wilayah Jakarta semakin mengkuatirkan. Laju penurunannya di Jakarta yang menyentuh kisaran angka 5-12 sentimeter per tahun dinilai sangat mengkhawatirkan terhadap ketahanan lingkungan di ibukota. Banyak faktor penyebabnya, mulai dari pembangunan infrastuktur hingga aktivitas masyarakat.

Hal ini menjadi pembahasan di dalam forum tingkat tinggi tahun-tahun sebelumnya, yakni 2015 dan 2016, yang menyimpulkan bahwa penyebab utama penurunan muka tanah di Jakarta adalah pengambilan air tanah, konsolidasi mencakup beban kota, konsolidasi alami serta perubahan bentuk tektonik, dan dapat disimpulkan bahwa “pengaturan pengambilan air tanah”merupakan salah satu bentuk penanggulangan terhadap penurunan muka tanah yang dapat kita lakukan.

Melalui Direktorat Jenderal Sumber Daya Air (Ditjen SDA)  Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Indonesia menjalin kerja sama dengan Japan International Cooperation Agency (JICA) dalam upaya mencegah dampak buruk dari penurunan permukaan tanah.

"Yang kita minta dari JICA adalah mereka melakukan penyelidikan dan monitoring agar kita bisa bergerak lebih cepat dalam mencari penyebabnya dan menetapkan kebijakan tepat.  Data kita belum cukup, padahal kita perlu informasi yang cukup untuk menyusun strategi spesifik dalam menyelesaikan land subsidence di Jakarta", ujar Direktur Jenderal Sumber Daya Air Kementerian PUPR, Imam Santoso, saat memberikan keterangan pers dalam forum tingkat tinggi ddengan pembahasan utama penurunan muka tanah (land subsidence) bertajuk "Towards Acceleration of Countermeasures Against Land Subsidence" (5/4) di Jakarta.

Menurut Imam, salah satu faktor yang paling signifikan terhadap terjadinya penurunan permukaan tanah di Jakarta adalah penggunaan air tanah yang berlebihan, baik untuk kepentingan industri, perkantoran maupun rumah tangga. Selain itu, pembangunan yang berlangsung pesat di ibu kota juga menjadi salah satu faktor yang memengaruhi permukaan tanah.

Dalam kesempatan yang sama, Chief Representative JICA untuk Indonesia, Naoki Ando, mengatakan bahwa pokok persoalan penurunan permukaan tanah di Jakarta memiliki kemiripan dengan yang terjadi di Tokyo, Osaka dan Bangkok. Naoki menuturkan, langkah utama yang perlu dilakukan adalah mencari titik-titik rawan lapisan tanah yang mengalami penurunan. 

"Itu yang perlu kita dalami dan kita tindak secepatnya.  Kita perlu mempercepat pekerjaan mitigasi ini dengan belajar dari Tokyo dan Bangkok, agar bisa memutuskan secara cepat apa saja yang harus dilakukan untuk menanggulangi penurunan permukaan tanah di Jakarta," ujarnya.

Kedua, lanjut Naoki, membuat kerangka kerjasama di bawah program NCICD dengan menjelaskan manfaat-manfaat yang akan Jakarta peroleh dari penanggulangan pengurangan penurunan muka tanah. Ketiga, melakukan langkah-langkah terintegrasi secara efektif dengan output yang tidak hanya mengatur ekstrasi air tanah tapi juga mengamankan efisiensi sumber daya air.

Menurut Naoki, kajian penelitian ini akan berlangsung selama tiga tahun dalam mencari titik-titik rawan serta berbagai faktor penyebab agar bisa memperoleh gambaran strategi yang spesifik dalam penanganannya. 

Sebagai salah satu langkah awal penanggulangan penurunan muka tanah, Pemerintah telah mencanangkan program NCICD (National Capital Integrated Coastal Development) atau pembangunan terpadu pesisir Ibukota Negara yang dimulai tahun 2014 lalu. Berbagai prasyarat perlu dilakukan meliputi kegiatan peningkatan kualitas air, mitigasi penurunan permukaan tanah, peningkatan pengelolaan air limbah di Jakarta, dan pembersihan sungai-sungai yang melewati Jakarta.

Kepala Bappeda DKI Jakarta, Tuti Kusumawati mengharapkan supaya pembangunan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) I  dan (SPAM) II dipercepat untuk bisa menangani penurunan muka tanah, karena diyakni mampu memenuhi kebutuhan air bersih dengan total 9000 liter per detik.  "Instrumen untuk mengukur penurunan permukaan tanah kami harapkan juga bisa diintegrasikan secara digital agar bisa disinkronisasikan dengan sistem Jakarta Smart City," tambah Tuti Kusumawati.

Sementara itu, menyoal regulasi dan kebijakan, Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah DKI Jakarta, Tuty Kusumawati, menjelaskan bahwa Jakarta telah melakukan penguatan regulasi dalam penggunaan air tanah dan pembangunan.

"Sebenarnya, regulasi ekstraksi air tanah di Ibu Kota itu masih diperbolehkan. Namun, kita awasi lewat tarif, supaya bisa dikendalikan. Tarif air tanah di Indonesia yang paling tinggi itu adalah Jakarta," ujar Tuty.

Tuty menyebutkan, 62 persen kebutuhan air di Jakarta telah terpenuhi lewat air pipa yang disalurkan oleh PAM Jaya. Sementara itu, dari sisa 38 persen kebutuhan air, 30 persennya masih memanfaatkan air tanah. Untuk mencapai target 100 persen, pembangunan infrastruktur pendukung menjadi salah satu langkah utama yang perlu dipercepat.

"Saat ini kan sudah ada Waduk Jatiluhur, kemudian pembangunan Waduk Karian di Lebak Banten sudah ada tanda-tanda akan mulai dibangun lagi sekitar tahun 2018, dan bisa operasional tahun 2021.  Ini bisa memenuhi tambahan 4200 liter air per detik" terang Kepala Bappeda DKI Jakarta ini.

Sementara itu, menyoal regulasi dan kebijakan, Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah DKI Jakarta, Tuty Kusumawati, menjelaskan bahwa Jakarta telah melakukan penguatan regulasi dalam penggunaan air tanah dan pembangunan.

"Sebenarnya, regulasi ekstraksi air tanah di Ibu Kota itu masih diperbolehkan. Namun, kita awasi lewat tarif, supaya bisa dikendalikan. Tarif air tanah di Indonesia yang paling tinggi itu adalah Jakarta," ujar Tuty.

Tuty menyebutkan, 62 persen kebutuhan air di Jakarta telah terpenuhi lewat air pipa yang disalurkan oleh PAM Jaya. Sementara itu, dari sisa 38 persen kebutuhan air, 30 persennya masih memanfaatkan air tanah. Untuk mencapai target 100 persen, pembangunan infrastruktur pendukung menjadi salah satu langkah utama yang perlu dipercepat.

"Saat ini kan sudah ada Waduk Jatiluhur, kemudian pembangunan Waduk Karian di Lebak Banten sudah ada tanda-tanda akan mulai dibangun lagi sekitar tahun 2018, dan bisa operasional tahun 2021.  Ini bisa memenuhi tambahan 4200 liter air per detik" terang Kepala Bappeda DKI Jakarta ini.

Selanjutnya, hasil dari forum ini adalah mentapkan kebijakan dan pengukuran secara efektif untuk mengatur pengambilan air tanah di Jakarta, dengan beberapa cara; mengklarifikasi area di mana penurunan tanah yang signifikan terjadi, seperti di daerah Jakarta Utara.  Kemudian mengindentifikasi lapisan lempung dan akuifer terutama yang menyebabkan penurunan muka tanah.  Selanjutnya adalah memfasilitasi pendaftaran sumur air tanah di Jakarta, termasuk yang illegal dan mengambil seluruh jumlah pengambilan air tanah di Jakarta. 

Langkah berikutnya adalah memperluas pelayanan air di kota (SPAM) untuk regulasi pengambilan air tanah dan melakukannya, dapat dihindari untuk mengembangkan dan memanfaatkan alternative sumber air.  Melakukan pengukuran untuk mengurangi tingkat kebocoran pelayanan air di kota (SPAM) untuk pengaturan pengambilan air tanah, memfasilitasi penyimpanan penggunaan air rumah tangga, kota dan industri untuk pengaturan pengambilan air tanah, di area di mana penurunan tanah terjadi secara signifikan, menguatkan pengaturan pengambilan air tanah dari sumur yang memompa air dari akuifer terutama menyebabkan penurunan muka tanah, dan memprioritaskan pengukuran ekspansi pelayanan air di perkotaan, hal tersebut dapat mewujudkan pengurangan tingkat kebocoran dan penyimpanan air. (nan-kompuSDA)

  • kompusda

Share this Post