Bahaya Banjir DAS Kali Garang Dipetakan
09 Februari 2013
Foto : Bahaya Banjir DAS Kali Garang Dipetakan
Banjir bandang pada 1990 masih membekas di benak warga Kota Semarang, khususnya mereka yang tinggal di sepanjang Sungai Banjirkanal Barat. Kerugian besar baik harta dan jiwa mendasari perlunya dibangun sistem peringatan dini.
Hal itu terungkap dalam persiapan Sosialisasi Kesiapsiagaan Banjir Bandang Daerah Aliran Sungai (DAS) Garang, Kamis (9/2), di Hotel Pandanaran. Kegiatan yang diadakan Balai Besar Wilayah Sungai Pemali Juwana (BBWSPJ) ini menghadirkan pemateri Kabid Pelaksana Jaringan Sumber Air (PJSA) BBWSPJ Bambang Astoto, Peneliti Puslitbang Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum Wanny K Adidarma, dan Kasi Kesiapsiagaan BPBD Kota Purwadi Ignasius.
Wanny mengungkapkan, melalui sistem peringatan dini bisa diketahui waktu yang tersedia untuk melakukan evakuasi. Dengan begitu, makin panjang waktu yang tersedia untuk evakuasi maka makin kecil resiko bencana.
"Kami pasang alat telemetri di 12 pos hujan dan enam pos duga air Posko BBWS. Alat ini mampu membaca, menyimpan dan mengirimkan data hidrologi seperti curah hujan dan muka air di Sungai Garang, Sungai Kripik dan Kreo serta Tugu Suharto dan Bendung Simongan," ujarnya.
Berdasar kejadian banjir 1990, waktu perjalanan terpendek adalah dari Jl Pramuka ke Tugu Suharto sekitar 30 menit. Hal itu berarti evakuasi yang bisa dilakukan hanya dalam tempo tersebut. Jika sistem tersebut sudah berjalan, data-data hidrologi yang terekam akan diubah menjadi ramalan banjir di masa yang akan datang. Laju perjalanan banjir bisa diprediksi, sehingga bisa diketahui berapa lama waktu yang tersedia bagi masyarakat untuk melakukan evakuasi.
"Data yang kami sampaikan kepada masyarakat sudah matang. Melalui data ini mereka bisa mengetahui mana saja jalur evakuasi. Jika mau pergi ke titik-titik evakuasi, kendaraan apa saja yang digunakan," tukasnya.
Sementara itu, Purwadi menambahkan terjadi perubahan paradigma dalam penanggulangan bencana. Semula hanya sebatas pada tanggap darurat, namun dengan adanya UU No 24/2007 berkembang pada pengurangan resiko bencana. Di Semarang sendiri, bencana alam yang terjadi antara lain banjir, longsor, rob, angin puting beliung, dan kekeringan.
Lebih lanjut, Bambang Astoto mengungkapkan, dalam pengendalian banjir ditekankan konsep 3E yakni edukasi, ekologi dan ekonomi. Diperlukan penguatan partisipasi masyarakat untuk pencegahan bencana.
Bagikan :