The 3rd World Irrigation Forum dan 70th International Executive Council Meeting yang diselenggarakan di Bali, 1-7 September 2019 dibuka oleh Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Basuki Hadimuljono di Bali Nusa Dua Convention Center (2/9).
Acara ini dihadiri oleh menteri-menteri dari negara-negara di Asia, wakil menteri, perwakilan FAO, ADB dan Bank Dunia serta lebih dari 1.300 peserta dari 84 negara yang diambil dari berbagai disiplin ilmu termasuk akademisi, peneliti, komunitas ilmiah internasional, petani, insinyur, pembuat kebijakan, industri dan manajer yang bergerak dalam bidang irigasi.
Tema utama yang diangkat dalam forum internasional kali ini adalah “Pengembangan Keamanan Air, Pangan dan Gizi dalam Lingkungan yang Kompetitif”. Basuki menjelaskan bahwa evolusi ini merupakan respon terhadap tantangan saat ini dan masa depan, yaitu produksi pangan yang harus dilipatgandakan pada tahun 2050 untuk memenuhi permintaan dunia. “Populasi yang terus bertambah, sementara ketersediaan lahan dan air menjadi terbatas. Kami membutuhkan strategi yang kuat dan inovatif untuk memerangi kelaparan dan untuk mengakhiri kemiskinan di pedesaan,” tegasnya.
Sebelumnya, Wakil Gubernur Bali, Tjokorda Oka Artha Ardana menyampaikan sambutan kepada para delegasi. Ia memperkenalkan warisan budaya leluhur Bali: sistem manajemen irigasi yang disebut Subak. Subak dan manifestasinya telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai warisan budaya dunia termasuk Irigasi Jatiluwih, Pakerisan, dan Irigasi Batukaru Catur Angga, Ulun Danu Batur dan Pura Taman Ayun.
“Saya berharap kesucian dan keindahan alam Bali, serta keramahan masyarakatnya akan memberikan kekuatan dan inspirasi bagi semua peserta sehingga acara ini akan menjadi forum untuk berbagi wawasan, pengalaman dan pengetahuan untuk memajukan irigasi dalam upaya untuk mencapai keamanan air dan pangan di setiap negara secara berkelanjutan dengan memperhatikan lingkungan. ” ujar Tjokorda.
Pada kesempatan ini, Presiden ICID (International Commission on Irrigation and Drainage), Felix B. Reinders, juga meyampaikan sambutannya di depan para undangan an delegasi. Ia mengatakan bahwa 80% dunia menggunakan irigasi gravitasi, 20% irigasi bertekanan. Sementara Indonesia masih bergantung pada gravitasi dengan cara Subak khususnya. Cina, Afrika, India dalam investasi besar teknologi penghematan air, seperti teknik irigasi tetes (drip irrigation) menerapkan air tepat di zona akar tanaman, baik dari atas permukaan padat atau terkubur di bawah permukaan. “Indonesia bisa belajar dari ini karena menghemat lebih banyak air,” jelasnya.
Dalam acara pembukaan ini juga dilaksanakan Awarding World Irrigation and Drainage Prize 2019 dengan menghadirkan pemenang ketiga, Chandra Alistair Madramootoo dari negara Canada yang meraih penghargaan atas pekerjaannya yang berkelanjutan dan berkomitmen tinggi untuk sektor irigasi dan drainase di seluruh dunia melalui pendidikan, penelitian, perencanaan, dan implementasi proyek internasional. (ech)
- kompusda