Pulau Bali memang sudah menjadi simbol pariwisata untuk Indonesia. Setiap tahunnya, jumlah wisatawan mancanegara dan domestik terus bertambah untuk menikmati potensi alam di pulau ini. Bukan hanya menyediakan pemandangan alam yang tak biasa, pulau yang dikenal dengan sebutan “Pulau Dewata” ini juga menawarkan suguhan budaya yang luar biasa. Kekuatan budaya di pulau ini seakan menjadi magnet bagi orang untuk semakin mencari tahu dan membiarkannya menjadi bagian dari pengalaman hidup mereka. Hal ini tentunya menjadi kebanggaan bagi Indonesia karena punya sektor pariwisata yang mendunia.
Akan tetapi, belum banyak yang tahu bahwa meningkatnya wisatawan yang datang ke Bali juga berdampak pada jumlah orang yang menetap di pulau ini. Faktor manusia ini, selain gelombang dan badai menjadi salah satu penyumbang rusaknya dan erosi yang terjadi di pesisir Pantai Bali. Abrasi yang terjadi akibat aktivitas gelombang dan manusia semakin lama semakin merusak pesisir pantai. Bukan hanya akan mempengaruhi sektor pariwisata, tapi juga berdampak pada religi yang dianut oleh masyarakat Hindu di Bali. Bagi agama Hindu, pantai merupakan hal penting bagi kepercayaan umatnya. Mereka melakukan beberapa ritual keagamaan yang mereka percayai di tempat ini.
Kegelisahan inilah yang menggerakkan Balai Wilayah Sungai (BWS) Bali Penida untuk melakukan suatu tindakan nyata. Sebagai perwakilan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang mendapatkan amanah mengelola infrastruktur bidang sumber daya air di Provinsi Bali, BWS Bali Penida mengerjakan kegiatan Pengamanan Pantai yang tersebar di empat titik, yaitu Sanur, Nusa Dua, Tanah Lot, dan Kuta. Tidak tanggung-tanggung, Balai ini juga menggandeng Japan International Corporation Agency (JICA) dalam hal pendanaan. Kenapa Jepang? “Sejak tahun 1970, JICA telah melakukan studi abrasi terhadap beberapa titik pantai di Bali. Pada tahun 1989, bekerjasama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Departemen PU, mereka (baca: JICA) juga melakukan studi kelayakan Proyek Perlindungan Pantai Bali. Hal inilah yang membuat Kementerian PUPR akhirnya bersedia bekerjasama dengan JICA untuk penanganan masalah abrasi di Pantai Bali,” tutur I Putu Eddy Purna Wijaya selaku Kepala Satuan Kerja Non Vertikal Tertentu (SNVT) PJSA BWS Bali Penida.
Tidak berhenti sampai disitu, kendala berikutnya muncul ketika kegiatan sudah siap untuk dilaksanakan. Area yang akan menjadi lokasi pekerjaan untuk kegiatan ini merupakan area sektor pariwisata yang dijalankan beberapa pihak swasta, sehingga perlu ada aturan jelas yang menentukan batas-batas wilayah yang menjadi kewenangan pemerintah dan pihak swasta. Tim BWS Bali Penida tidak menyerah, mereka menggandeng pemerintah kabupaten untuk berkolaborasi menyelesaikan kendala tersebut. Melalui beberapa program sosialisai, kendala ini bisa diselesaikan dengan baik. Pekerjaan pengaman pantai untuk empat titik lokasi tersebut pun dilaksanakan.
Selama proses pengerjaan pengaman pantai pun, BWS Bali Penida tetap mengindahkan kenyamanan para wisatawan yang sedang menikmati suasana pantai. Memiliki wewenang untuk melakukan pembangunan, bukan berarti tidak memperhatikan hak-hak orang lain, apalagi orang tersebut adalah tamu. BWS Bali Penida terus melakukan sosialisasi kepada pihak pengelola sektor pariwisata tentang jadwal pembangunan yang mereka lakukan, sehingga para wisatawan bisa menyesuaikan kegiatan mereka agar tetap nyaman. Hal ini diungkapkan oleh George, wisatawan asal Belanda yang kagum akan hasil kegiatan pembangunan pengaman pantai yang dilakukan oleh BWS Bali Penida. “Saya menghargai usaha perusahaan yang melakukan pembangunan pengaman pantai di Pantai Sanur ini, selain untuk memecah gelombang pantai yang bisa mengurangi abrasi di pesisir pantai, balai-balai kecil yang ada di atas bebatuan tersebut juga bermanfaat untuk tempat berteduh ketika menikmati suasana pantai”, tuturnya kagum. (dro KompuSDA)
- kompusda