El Nino adalah suatu gejala penyimpangan kondisi laut yang ditandai dengan meningkatnya suhu permukaan laut (sea surface temperature-SST) di samudra Pasifik sekitar equator (equatorial pacific) khususnya di bagian tengah dan timur (sekitar pantai Peru). Karena lautan dan atmosfer adalah dua sistem yang saling terhubung, maka penyimpangan kondisi laut ini menyebabkan terjadinya penyimpangan pada kondisi atmosfer yang pada akhirnya berakibat pada terjadinya penyimpangan iklim. (Supari,(www.bmkg.go.id).
Fenomena El-Nino bukanlah kejadian yang terjadi secara tiba-tiba. Proses perubahan suhu permukaaan laut yang biasanya dingin kemudian menghangat bisa memakan waktu dalam hitungan minggu hingga bulan. Karena itu pengamatan suhu permukaan laut juga bisa bermanfaat dalam pembuatan prediksi atau prakiraan akan terjadinya El-Nino.
Dampak El- Nino di Indonesia, seperti yang terjadi di tahun 1997 terjadi bencana kekeringan yang luas. Pada tahun itu, kasus kebakaran hutan di Indonesia menjadi perhatian internasional karena asapnya menyebar ke negara-negara tetangga. Kebakaran hutan yang melanda banyak kawasan di Pulau Sumatera dan Kalimantan saat itu, memang bukan disebabkan oleh fenomena El-Nino secara langsung. Namun kondisi udara kering dan sedikitnya curah hujan telah membuat api menjadi mudah berkobar dan merambat dan juga sulit dikendalikan. Di sisi lain, kekeringan dan kemarau panjang juga menyebabkan banyak wilayah sentra pertanian mengalami gagal panen karena distribusi curah hujan yang tidak memenuhi kebutuhan tanaman.
Oleh karena itu, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemen PUPR) melalui Direktorat Jenderal Sumber Daya Air (Ditjen SDA) mengantisipasi dampak El Nino di musim kemarau ini terhadap ketersediaan air dan dampaknya terhadap ketahanan pangan nasional.
Hal ini diperkuat dengan perkiraan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) bahwa musim kemarau akan berakhir pada Desember 2015, maka 16 waduk dapat memenuhi kebutuhan air irigasi untuk Masa Tanam I (Oktober 2015 s.d Januari 2016). Diinformasikan lebih lanjut bahwa, total luas sawah beririgasi yang bersumber dari waduk dan non waduk adalah 7.145.168 Ha.
Oleh karena itu, penanganan yang dilakukan dari sisi Kemen.PUPR dilihat dari dua hal, bila bersumber dari waduk ,maka upaya antisipasi kekeringan di waduk dengan cara pemantauan intensif terhadap ketersediaan air di waduk dan peninjauan kembali alokasi air, pengaturan pembagian dan pemberian air dan dengan status waduk utama dibawah elevasi rencana, diterapkan pola operasi waduk dengan mempertimbangkan pola rencana dan tata tanam cukup untuk sampai dengan musim tanam I mulai bulan Oktober 2015
Bila bersumber dari non-waduk diantaranya, identifikasi dan pemanfaatan debit sungai yang ada serta sumber –sumber air lainnya dan peninjauan kembali alokasi air, pengaturan dan pembagian pemberian air mengacu pada hasil kesepakatan Komisi Irigasi.
Solusi teknis lainnya yang dilakukan Ditjen SDA dalam meminimalisir dampak kekeringan, antara lain dengan melakukan pengelolaan air dan pemberdayaan kepada para petani dalam bentuk meminimalisir kebocoran air di sepanjang jaringan irigasi, efisiensi penggunaan air melalui sistem pergiliran dalam penggunaan air dan teknologi irigasi hemat air.
“Penyuluhan terhadap petani pemakai air (P3A, GP3A, IP3A) untuk menjelaskan bagaimana memanfaatkan air secara efisien dan efektif melalui Gerakan Hemat Air dan meningkatkan kesadaran terhadap pelestarian lingkungan, juga bagian dari solusi non-teknis yang dilakukan Ditjen SDA,†jelas Mudjiadi ketika melakukan kunjungan lapangan di Kedung Ombo.
- Superman