Indonesia terletak di Cincin Api Pasifik, yang berarti potensi tinggi bencana alam seperti gempa bumi oleh letusan gunung berapi atau kegiatan tektonik. Pada saat yang sama, Indonesia, seperti lainnya

negara berkembang, harus berurusan dengan populasi pertumbuhan yang cepat. Ini memiliki konsekuensi pada meningkatnya kebutuhan manusia akan ruang untuk permukiman dan kegiatan. Akibatnya, saat ini lebih banyak orang berani tinggal di daerah berisiko tinggi, seperti dataran banjir, lereng curam, sungai.

“Kita tidak bisa menghindari bencana, seperti kita tidak bisa menghindari banjir besar, kita tidak bisa menghindari kekeringan, tetapi dengan manajemen hati-hati, efek dari bencana dapat diminimalkan,” jelas Direktur Jenderal Sumber Daya Air yang diwakili oleh Sekretaris Direktur Jenderal Sumber Daya Air, Hartanto pada acara The First Workshop for Disaster Management Collaboration Dialogues between Japan (MLIT), di Jakarta (27/11).

Terkait dengan hal tersebut diatas, dalam penanggulangan bencana terpadu, melibatkan tindakan-tindakan struktural dan non-struktural.  Tindakan non-struktural seperti reboisasi, Spasial untuk Ruang Terbuka Hijau, Pengendalian Lahan di DAS Ciliwung, Penataan Sempadan. Sedangkan tindakan struktural yaitu pembangunan penyimpanan infiltrasi dan infiltrasi yang baik, revitalisasi situ-situ. Selain itu, kerja sama antar organisasi terkait yang merupakan prasyarat dalam manajemen bencana yang sukses.

“Harapan saya, penanggulangan bencana ini, kerjasama antara Jepang dan Indonesia bisa ditindaklanjuti dengan pelaksanaan praktik terbaik bersama, jadi kami bisa menerima manfaat nyata dari pertemuan ini, dan bisa diperpanjang, tidak hanya untuk Mitigasi Banjir Jakarta, tapi juga untuk kota-kota penting lainnya di Indonesia yang mengalami banjir,” tambah Hartanto.

Turut hadir dalam acara Direktur Bina Penatagunaan Sumber Daya Air, Arie Setiadi dan perwakilan dari MLIT Jepang

  • Superman

Share this Post