Box Layout

HTML Layout
Backgroud Images
Backgroud Pattern
blog-img-10

Posted by : ppid_cimancis

Peran Jaringan Tersier dalam Sistem Irigasi: Kunci Distribusi Air untuk Ketahanan dan Swasembada Pangan

Jaringan tersier adalah saluran terakhir dalam rantai distribusi irigasi — yang menyalurkan air dari saluran sekunder langsung ke petak-petak sawah milik petani. Karena berposisi paling dekat dengan lahan, fungsi jaringan tersier sangat menentukan apakah setiap petak sawah menerima pasokan air tepat waktu, merata, dan dalam jumlah yang diperlukan untuk tiap fase pertumbuhan tanaman. Tanpa jaringan tersier yang andal, investasi pada bendung, saluran primer, atau sekunder tidak akan sepenuhnya dirasakan manfaatnya oleh petani.

Perbaikan atau rehabilitasi jaringan tersier (misalnya lewat program padat karya P3-TGAI) meningkatkan efisiensi distribusi air yang nyata. Evaluasi dan laporan pelaksanaan program memperlihatkan bahwa intervensi pada tersier dapat menurunkan kehilangan air (leakage/evapotranspirasi non-manfaat) dan memperbaiki cakupan layanan sehingga efisiensi penyaluran air meningkat—laporan Ditjen SDA dan ringkasan pelaksanaan P3-TGAI mencatat capaian efisiensi dan perluasan layanan yang berpotensi meningkatkan produktivitas lahan yang mendapat perbaikan.

Dampak langsung terhadap produktivitas pertanian juga bisa diukur. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan variasi produktivitas padi antara lahan beririgasi baik dan lahan tadah hujan; perbaikan jaringan irigasi umumnya mendorong kenaikan produktivitas dalam kisaran satu digit persen sampai belasan persen tergantung kondisi lahan dan intensitas intervensi. Sebagai contoh, peningkatan efisiensi distribusi air 10–25 persen pada satu lokasi tersier sering dikaitkan dengan kenaikan produktivitas padi antara sekitar 5–15 persen pada musim tanam berikutnya—angka ini konsisten dengan temuan pelaksanaan P3-TGAI di beberapa daerah. Untuk angka-angka provinsi/daerah yang spesifik, acuan resmi seperti statistik BPS provinsi/kabupaten dan laporan teknis Ditjen SDA menjadi rujukan utama.

Pelaksanaan peningkatan dan pemeliharaan jaringan tersier juga harus berlandaskan aturan teknis dan tata kelola yang jelas. Di tingkat nasional, pelaksanaan percepatan pembangunan, peningkatan, rehabilitasi serta operasi-pemeliharaan jaringan irigasi diarahkan oleh Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2025; sementara pedoman teknis dan standar pelaksanaan program-program padat karya dan swakelola (seperti P3-TGAI) dipandu oleh dokumen dan petunjuk teknis yang diterbitkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum (Ditjen SDA) dan peraturan-peraturan terkait pengelolaan irigasi. Kepatuhan pada pedoman ini penting agar hasil rehabilitasi tersier bersifat tahan lama, hemat biaya operasi, dan memberi manfaat nyata bagi produktivitas serta kesejahteraan petani.

Dari sisi implementasi lapangan, keberhasilan jaringan tersier memerlukan kombinasi investasi fisik, pemberdayaan petani, dan pemeliharaan berkelanjutan. Model P3-TGAI menekankan swakelola oleh Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) dengan pendampingan teknis — pendekatan ini selain menurunkan biaya, juga meningkatkan rasa memiliki masyarakat terhadap infrastruktur sehingga pemeliharaan rutin lebih terjamin. Studi dan laporan monitoring menunjukkan program-program berbasis partisipasi masyarakat mampu memperluas layanan irigasi tersier dan meningkatkan luas tanam serta frekuensi tanam di banyak lokasi.

Kesimpulannya: jaringan tersier bukan sekadar “saluran kecil” — ia adalah ujung tombak distribusi air yang menentukan apakah upaya besar di hulu (bendungan, saluran primer/sekunder) benar-benar mendorong ketahanan pangan. Perbaikan tersier yang direncanakan, dilaksanakan, dan dipelihara berdasarkan standar teknis serta melibatkan petani secara aktif akan meningkatkan efisiensi air, menaikkan produktivitas, dan berkontribusi pada target swasembada pangan nasional sebagaimana diamanatkan regulasi. Untuk angka dampak dan target kenaikan produktivitas di lokasi tertentu, rekomendasi saya: gunakan data BPS kabupaten/provinsi dan laporan teknis BBWS Cimanuk Cisanggarung atau Ditjen SDA sebagai rujukan penetapan estimasi yang dapat dipertanggungjawabkan.