Slide 1

Berita Balai Wilayah Sungai Maluku Utara > Jaringan Irigasi Air Tanah (JIAT): Membangun Keseimbangan antara Pemanfaatan dan Keberlanjutan


Selasa, 28 Oktober 2025, Dilihat 73 kali

Jaringan Irigasi Air Tanah (JIAT): Membangun Keseimbangan antara Pemanfaatan dan Keberlanjutan

Rubrik : Editorial Edukasi Kompu BWS Maluku Utara

Air tanah merupakan sumber daya yang bekerja dalam kesenyapan, namun memiliki peran besar dalam menopang kehidupan dan pertanian. Dalam konteks pengelolaan air di Indonesia, air tanah tidak hanya menjadi sumber cadangan pada musim kering, tetapi juga fondasi bagi keberlanjutan sistem pangan nasional. Pemanfaatan air tanah melalui Jaringan Irigasi Air Tanah (JIAT) menjadi langkah strategis yang menggabungkan inovasi teknologi dengan kesadaran ekologis. Sistem ini dirancang untuk menyediakan air secara efisien bagi lahan pertanian sekaligus menjaga keseimbangan alamiah akuifer di bawah permukaan bumi.

Keberhasilan JIAT berawal dari pemahaman mendalam terhadap ketersediaan air tanah. Data debit akuifer dan kapasitas recharge harus dikaji secara teliti untuk memastikan suplai air cukup sepanjang musim tanam. Misalnya, sebuah wilayah dengan debit akuifer rata-rata 8–12 liter per detik per sumur hanya dapat menopang irigasi efektif untuk sekitar 10–15 hektare lahan jika tingkat pengisian ulang tahunan berada di kisaran 180–250 mm per tahun. Analisis semacam ini menjadi dasar bagi penentuan jumlah titik sumur, kapasitas pompa, dan periode operasi yang aman. Selain itu, tren konsumsi air di wilayah pertanian perlu dipantau agar tidak melebihi kapasitas pemulihan alami akuifer.

Selain kuantitas, kualitas air tanah menjadi faktor kunci dalam keberhasilan sistem irigasi. Air dengan kandungan padatan terlarut total (TDS) di bawah 1.000 mg/L dan pH antara 6,5–8 dianggap ideal untuk pertanian. Kadar logam seperti besi (Fe) dan mangan (Mn) sebaiknya berada di bawah 0,3 mg/L untuk menghindari pengendapan pada sistem pipa dan kerusakan tanaman. Sementara itu, konsentrasi klorida (Cl⁻) di bawah 250 mg/L dan nitrat (NO₃⁻) di bawah 10 mg/L menandakan kondisi air tanah yang sehat. Uji laboratorium berkala terhadap parameter-parameter tersebut bukan sekadar formalitas, tetapi bagian penting dari upaya menjaga kesuburan tanah dan kualitas hasil panen.

Faktor kedalaman dan tekanan akuifer juga menentukan efisiensi sistem JIAT. Kedalaman muka air tanah statik umumnya berkisar antara 10 hingga 40 meter, tergantung kondisi geologi setempat. Selisih antara muka air tanah statik dan dinamik mencerminkan besarnya head loss atau kehilangan energi akibat proses pemompaan. Semakin besar head loss, semakin tinggi pula energi listrik yang dibutuhkan. Oleh karena itu, desain sistem JIAT harus mempertimbangkan tekanan hidrolik alami agar daya pompa yang digunakan efisien dan tidak membebani akuifer secara berlebihan.

Prinsip paling penting dari semua aspek tersebut adalah menghindari eksploitasi berlebihan. Pengambilan air tanah yang melampaui kapasitas recharge dapat menimbulkan dampak serius: penurunan muka air tanah, penurunan muka tanah (land subsidence), hingga intrusi air laut pada wilayah pesisir. Oleh karena itu, perencanaan JIAT wajib mempertimbangkan neraca air regional, di mana total pengambilan tidak boleh melebihi 70–80% dari rata-rata pengisian ulang tahunan. Pendekatan ini menjadi bentuk nyata dari penerapan prinsip konservasi berbasis sains.

JIAT pada akhirnya bukan hanya tentang teknologi irigasi, tetapi tentang cara pandang baru terhadap air tanah sebagai sumber kehidupan yang terbatas dan berharga. Dengan perencanaan yang bijak dan berkelanjutan, sistem ini tidak hanya menyalurkan air ke lahan, tetapi juga menyalurkan harapan bagi generasi mendatang.


Daftar Sumber Rujukan :