Berita Balai Wilayah Sungai Maluku Utara > Pertanian Adaptif di Selatan Halmahera Hadapi Tantangan Perubahan Iklim
Senin, 03 November 2025, Dilihat 19 kali
Perubahan iklim bukan lagi ancaman masa depan, melainkan kenyataan yang telah dirasakan oleh petani di berbagai wilayah, termasuk di Halmahera Timur. Musim yang tidak menentu, periode kering yang memanjang, dan curah hujan yang tidak stabil menjadikan pertanian semakin rentan terhadap gagal panen. Dalam situasi ini, kemampuan adaptasi menjadi faktor penentu keberlanjutan produksi pangan. Salah satu bentuk adaptasi yang signifikan di Wasile Selatan adalah penerapan sistem irigasi modern berbasis efisiensi air, yang memungkinkan petani bertahan di tengah fluktuasi iklim global.
Pertanian adaptif tidak sekadar menyesuaikan waktu tanam, tetapi mencakup pengelolaan air, energi, dan lahan yang fleksibel. Sistem irigasi berbasis pipa dan sprinkler di Wasile Selatan memungkinkan petani mengontrol pasokan air sesuai kondisi cuaca dan kebutuhan tanaman. Saat musim hujan, sistem ini dapat diatur untuk mengurangi intensitas penyiraman, sedangkan pada musim kering, air tanah dapat digunakan secara efisien tanpa pemborosan. Pendekatan ini menurunkan risiko kekeringan maupun kelebihan air yang merusak tanah dan tanaman. Dengan demikian, sistem irigasi modern berfungsi sebagai alat adaptasi sekaligus sarana mitigasi terhadap dampak perubahan iklim.
Dari perspektif akademis, praktik seperti ini sejalan dengan konsep climate-smart agriculture (CSA) yang dikembangkan oleh FAO — yakni sistem pertanian yang mampu meningkatkan produktivitas, memperkuat ketahanan terhadap iklim, dan mengurangi emisi karbon. Di Wasile Selatan, penerapan sistem irigasi efisien yang memanfaatkan energi bersih mencerminkan ketiga prinsip tersebut. Air dan energi digunakan secara bijak, lahan dikelola tanpa eksploitasi berlebihan, dan petani menjadi bagian dari solusi lingkungan, bukan korban dari perubahan iklim.
Selain aspek teknis, pertanian adaptif juga melibatkan perubahan perilaku sosial dan pola pikir. Petani yang sebelumnya bergantung sepenuhnya pada hujan kini memiliki kesadaran baru bahwa air dapat dikelola secara berkelanjutan. Melalui pelatihan dan pendampingan, mereka belajar menyesuaikan jadwal tanam, memilih varietas tanaman yang tahan kekeringan, dan memanfaatkan teknologi untuk pengaturan irigasi. Transformasi ini menunjukkan bahwa adaptasi bukan hanya soal alat, tetapi juga pengetahuan dan kolaborasi.
Dalam jangka panjang, sistem irigasi adaptif di Wasile Selatan memperkuat daya tahan sosial-ekologis wilayah tersebut. Ketika air dikelola secara efisien dan energi digunakan dengan bijak, ketahanan pertanian menjadi lebih kuat menghadapi ketidakpastian iklim. Pertanian adaptif seperti ini memberi harapan bahwa perubahan iklim bukan akhir dari produktivitas, melainkan awal dari cara baru untuk bertani — cara yang berpijak pada kesadaran lingkungan, efisiensi sumber daya, dan harmoni dengan alam yang terus berubah.

